Senin, 19 Januari 2009

MEMAHAMI BAHASA SI BATITA (BAYI)

MEMAHAMI BAHASA SI BATITA
"Bun, num...," tahukah Anda maksud ucapan si batita ini? Atau ketika ia berkata, "Co jangan mam, Yah...," apa yang terlintas di kepala Anda?
Memang tak mudah untuk memahami bahasa si batita, tetapi bukan berarti kita tak dapat belajar mengenal maknanya. Asal tahu saja, sejak awal usia batita, anak mulai mampu mengucapkan sebuah kata yang mempunyai arti. Persoalannya, si anak belum bisa mengucapkan kata tersebut dengan artikulasi yang baik seperti halnya orang dewasa. Makanya tak heran jika pengucapannya sering kali sepotong-sepotong, misalnya "minum" jadi "num" atau "pergi" jadi "gi", dan lainnya.
Kemampuan berbahasa ini dipengaruhi oleh kematangan otak (khususnya limbik otak bahasa) dan pembentukan lingkungan terutama yang paling menentukan adalah orangtua. Semakin banyak orangtua memberikan stimulus kepada anak, maka efeknya akan berbanding lurus, anak akan semakin kaya kosakata. Jadi, semakin sering orangtua menanggapi ajakan anak berkomunikasi dan mengenalkan banyak konsep, juga benda, otomatis perkembangan bahasanya akan semakin maju.
Yang juga penting disadari, dalam rentang perkembangan seorang anak terdapat masa peka, termasuk masa peka perkembangan bahasa. Hanya di masa peka inilah, istilahnya dengan sekali sentuhan saja, apa yang kita tanam langsung berbuah. Sebaliknya, jika masa peka perkembangan bahasa ini terlewatkan begitu saja, maka orangtua akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan anak dengan kemampuan berbahasa yang prima. Lantas, bagaimana cara mengetahui masa peka tersebut? Jawabannya, hanya orangtua yang selalu berinteraksi dan memiliki kedekatan dengan anak yang mengetahuinya.

TAHAPAN PERKEMBANGAN BAHASA
* Usia 1 tahun:
Anak berada pada tahap linguistic speech yang sangat sederhana dan satu kata bisa mewakili banyak pemikiran lengkap. Anak sudah bisa mengucapkan satu atau dua kata, tetapi cuma sepotong, dan sepotong kata itu bisa punya arti panjang. Contoh, saat anak bilang "bun" dengan maksud Bunda, artinya mungkin saja, "Aku ingin digendong," atau "Aku ingin ikut jalan-jalan bersama bunda."
* Usia 2 tahun:
Sekalipun masih mirip dengan kemampuan di usia satu tahun, tetapi di usia ini anak sudah mampu menggabungkan dua kata atau lebih menjadi satu kalimat yang bermakna dan berarti. Contohnya, "Minum susu," atau "Pergi sana," hingga "Tidak susu. Putih saja."
* Usia 3 tahun:
Anak sering melakukan hal yang sangat menarik perhatian karena ia tengah memasuki tahap membangkang, yaitu melakukan yang dilarang dan tidak melakukan yang diizinkan. Tak heran jika dalam perkembangan bahasanya, anak senang mengatakan sesuatu yang membuat orangtua cemas dan malu, seperti "bego", "mampus", dan kata-kata kasar lainnya. Apalagi jika ditunjang dengan seringnya orangtua melarang anak mengucapkan kata-kata tersebut tanpa penjelasan yang tepat. Belum lagi kosakata yang diperolehnya di usia ini semakin banyak dan tidak melulu hanya dari orangtua.
Selain itu, mulai usia ini juga umumnya anak mengeluarkan kalimat yang kadang terdengar janggal karena susunan kata-katanya tidak tepat alias terbalik-balik, sehingga apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan maksud si anak.
Walaupun begitu, orangtua tak perlu cemas. Hal ini wajar terjadi pada batita, karena:
* Anak pertama kali baru bisa bicara menyambungkan lebih dari satu hingga dua kata hingga membentuk sebuah kalimat yang berarti.
* Anak pertama kali baru bisa berkomunikasi dengan orang lain melalui bahasa yang mempunyai arti dan bisa dipahami.
* Anak banyak mempunyai kosakata untuk dijadikan sebuah kalimat yang digunakannya saat berkomunikasi.
* Anak mulai memeroleh banyak informasi kata dan kalimat baru yang menarik.
* Kemampuan mengolah kata dalam bentuk kalimat hingga menjadi sebuah bahasa di otaknya masih sangat terbatas.
* Pengalaman berbahasanya masih sangat minim.
CARA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BAHASA
Jika cara-cara di bawah ini dilakukan secara terus-menerus dan konsisten, maka anak akan termotivasi untuk terus mengembangkan kemampuannya berbahasa dan berkomunikasi dan baik. Inilah beberapa hal yang penting diperhatikan orangtua saat berkomunikasi dengan si batita:
• Gunakan bahasa yang benar, bukan baby talk seperti, "Oh, mau mimi cucu, ya," tapi, "Oh, mau minum susu, ya?"
• Gunakan kalimat dan kata yang tidak bermakna ganda. Contoh, "Jangan ke sana, bahaya!" Ingat, ke sana itu bisa berarti ke luar rumah, ke tempat cucian, ke dapur, dan ke banyak tempat lainnya. Lebih baik, katakan, "Jangan ke dekat kompor menyala, bahaya!"
• Gunakan selalu kalimat pendek.
• Hindari kata-kata kotor dan kasar jika tak ingin anak menirunya.
• Karena anak masih belajar, orangtua sebaiknya melantunkan bahasa dengan jelas, tidak cepat-cepat dan dengan gerak mulut (bibir dan lidah) yang tegas sehingga mudah dikenali dan diikuti anak.
• Jika menemukan kesalahan pada kata/kalimat dalam bahasa anak, segera luruskan dengan cara mengulang ucapannya secara benar.
5 "MASALAH" BAHASA & SOLUSINYA
1. Bicara terbalik-balik
Contoh, si kecil mengatakan, "Co jangan mam, Yah." Orangtua tinggal meluruskan dengan mengucapkan kalimat yang sama dan arti yang sama tapi susunannya benar, "Ayah jangan makan bakso ini." Dilanjutkan dengan memberikan jawaban, "Oke, Ayah tidak makan bakso ini." Bisa juga dilanjutkan, "Bakso ini punyamu, ya."
Jangan sekali-kali mengatakan ucapannya itu salah, "Salah itu. Yang benar seperti ini..." misalnya. Ingat, di usia batita, anak "hobi" membangkang (tahap negativistik), sehingga bisa terjadi si kecil malah akan terus mengulang yang salah. "Kenapa juga harus kayak gitu. Intinya, kan bisa dimengerti," begitu batin si anak.
Jika dibiarkan, bahasa anak akan berkembang ke arah yang tidak tepat, membingungkan, sehingga tidak dipahami lingkungan dan menyulitkannya dalam bersosialisasi. Mungkin juga, anak akan mengalami disleksia, meskipun perjalanan sampai ke situ jauh sekali. Yang pasti, sesuatu yang salah jika dibiarkan akan membawa efek tak baik.

2. Bicara kasar atau jorok
Tak jarang kita mendengar anak batita mengatakan kalimat kasar seperti, "Bego lu" atau "Mampus lu". Bisa jadi kata-kata kasar itu diperolehnya dari lingkungan bermain. Ketika orangtua tidak dapat mengawasi anak terus-menerus, tentu tak ada jaminan anak terhindar dari contoh kata-kata seperti itu, bukan?
Karenanya, diperlukan perhatian orangtua agar anak mengurangi pengucapan kata-kata tersebut dan tidak menjadikannya kebiasaan. Namun, jangan sekali-kali memvonis bahwa anak kasar, nakal, atau jorok, sekalipun kata-kata tidak sopannya dilontarkan di muka umum. Siapa tahu anak melakukan itu karena senang pada bunyinya, sementara ia belum tahu arti dan maknanya secara pasti.
Hanya saja, tidak tertutup kemungkinan anak mengucapkan kata-kata kasar atau kotor sebagai ungkapan kekesalan atau kemarahan. Bila demikian, orangtua mesti mengajarkan cara menyalurkan rasa marah dan kesal yang dapat diterima orang lain. Jangan lupa, jelaskan alasannya seperti, "Adek, ucapanmu itu bisa membuat orang lain sedih, lo." Atau, "Kalau dikatain bego, apa kamu juga mau? Sedih enggak? Orang lain juga sama."
Untuk anak yang belum tahu arti kata kasar dan kotor yang ia ucapkan, jelaskan makna yang sebenarnya, "Ade, tai itu kan kotoran yang keluar kalau kita pup. Jadi tidak baik diungkapkan pada orang lain."
Tetapi jika ucapannya menggambarkan kondisi nyata apa adanya, semisal, "Enggak mau, Om bau," karena si om habis berolaraga dan badannya bau keringat, tentu tidak apa-apa dan anak tak bisa disalahkan.

3. Salah makna kata atau kalimat
Sekalipun anak usia ini sudah mampu merangkaikan lebih dari 3 kata menjadi sebuah kalimat, akan tetapi sering kali kalimat tersebut maknanya salah. Bahkan tak jarang, satu kalimat yang diucapkan anak mempunyai arti yang bejibun, seperti "Bun, mam susu, lapar."
Kondisi ini terjadi karena keterbatasan kemampuan anak untuk menggunakan kosakata yang ada di memorinya menjadi sebuah kalimat seperti yang diinginkannya. Yang harus dilakukan orangtua adalah segera meluruskannya detik itu juga, "Adek haus atau lapar? Setelah mendapat jawaban, katakan lagi, "Oh, Adek lapar. Jadi ingin makan, ya."

4. Cadel.
Biasanya anak batita cadel saat mengucapkan bunyi: R jadi L, K jadi D, dan S dengan T sering terbalik-balik. Tetapi tiap anak variasinya berbeda-beda, lo.
Cadel terjadi bisa karena kurang matangnya koordinasi bibir dan lidah. Orangtua harus meluruskan dengan cara menuntun anak melafalkan yang benar seperti apa. Tetapi ingat, orangtua tak boleh memaksakan anak harus langsung bisa, apalagi jika saat itu belum tiba waktunya kematangan untuk mampu melakukan hal tersebut. Pemaksaan hanya membuat anak jadi stres, sehingga akhirnya dia malah mogok berusaha meningkatkan kemahiran berbahasanya.
Sebaliknya jika dibiarkan saja, mungkin anak akan terus berada dalam kecadelannya, sehingga akan semakin sulit diluruskan kalau dia sudah lewat masa tune in dalam proses kematangannya.
Sedangkan, cadel karena kelainan fisiologis semisal lidahnya pendek, tak punya anak tekak, atau langit-langitnya cekung. Penanganannya tentu harus dibawa ke dokter.

5. Mengucapkan hanya ekornya saja.
Yang ini memang sering terjadi pada anak batita. Contoh, "minum" jadi "num", "pergi" jadi "gi", "minta" jadi "ta", "mau" jadi "u", dan seterusnya. Kalau melihat logika dari teori barang masuk ke kotak, di situ jelas terlihat, barang yang masuk terakhir pasti akan jadi terdepan atau lebih dulu yang kita lihat. Nah, seperti itu pula yang terjadi pada seorang anak. Belum lagi, kemampuan otaknya untuk menangkap, mencerna, dan mengeluarkan apa yang dia miliki masih dalam tahap belajar. So, wajar dong kalau masih suka tersendat-sendat.
Gazali Solahuddin. Ilustrator: Pugoeh
Narasumber: Ira Puspita, MSi.,Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Universitas Gunadarma, Depok

Tidak ada komentar: