Jumat, 23 Januari 2009

Fakta dan Mitos Mengenai Imunisasi

Fakta dan Mitos Mengenai Imunisasi

Sejak pemberian vaksinasi secara luas di Amerika Serikat, jumlah kasus penyakit pada anak seperti campak dan pertusis (batuk rejan/batuk seratus hari) turun hingga 95% lebih. Imunisasi telah melindungi anak-anak dari penyakit mematikan dan telah menyelamatkan ribuan nyawa. Saat ini beberapa penyakit sangat jarang timbul sehingga para orang tua kadang mempertanyakan apakah vaksinasi masih diperlukan.
Anggapan yang keliru ini hanya salah satu dari kesalahpahaman mengenai imunisasi. Kebenarannya adalah bahwa sebagian besar vaksin mampu mencegah penyakit yang masih ada di dunia, walaupun angka kejadian penyakit tersebut jarang. Vaksinasi masih sangat berperan penting dalam menjaga kesehatan anak. Bacalah lebih lanjut tentang imunisasi secara lebih jelas dalam uraian berikut!

Apa yang terjadi pada tubuh dengan imunisasi

Vaksin bekerja dengan mempersiapkan tubuh anak anda untuk memerangi penyakit. Setiap suntikan imunisasi yang diberikan mengandung kuman mati atau yang dilemahkan, atau bagian darinya, yang menyebabkan penyakit tertentu. Tubuh anak anda akan dilatih untuk memerangi penyakit dengan membuat antibodi yang mengenali bagian-bagian kuman secara spesifik. Kemudian akan timbul respon tubuh yang menetap atau dalam jangka panjang. Jadi, ketika anak terpapar pada penyakit yang sebenarnya, antibodi telah siap pada tempatnya dan tubuh tahu cara memeranginya sehingga anak tidak jatuh sakit. Inilah yang disebut sebagai imunitas (ketahanan tubuh terhadap penyakit tertentu).

Fakta dan mitos

Yang patut disayangkan, beberapa orang tua yang salah mendapatkan informasi mengenai vaksin memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi pada anak mereka, akibatnya risiko anak tersebut untuk jatuh sakit lebih besar.
Untuk lebih memahami keuntungan dan risiko dari vaksinasi, berikut ini beberapa mitos umum yang ada di masyarakat dan faktanya.

Imunisasi akan menimbulkan penyakit yang seharusnya ingin dicegah dengan vaksinasi pada anak saya

Anggapan ini timbul pada beberapa orang tua yang memiliki kekhawatiran besar terhadap vaksin. Adalah suatu hal yang mustahil untuk menderita penyakit dari vaksin yang terbuat dari bakteri atau virus yang telah mati atau bagian dari tubuh bakteri atau virus tersebut. Hanya imunisasi yang mengandung virus hidup yang dilemahkan, seperti vaksin cacar air (varicella) atau vaksin campak, gondong, dan rubela (MMR), yang mungkin dapat memberikan bentuk ringan dari penyakit tersebut pada anak. Namun hal tersebut hampir selalu tidak lebih parah dari sakit yang dialami jika seseorang terinfeksi oleh virus hidup yang sebenarnya. Risiko timbulnya penyakit dari vaksinasi amatlah kecil.
Vaksin dari virus hidup yang tidak lagi digunakan di Amerika Serikat adalah vaksin polio oral (diberikan melalui tetes ke dalam mulut anak). Keberhasilan program vaksinasi memungkinkan untuk mengganti vaksin virus dari virus hidup ke virus yang telah dimatikan yang dikenal sebagai vaksin polio yang diinaktifkan. Perubahan ini secara menyeluruh telah menghapuskan penyakit polio yang ditimbulkan oleh imunisasi di Amerika Serikat.

Jika semua anak lain yang berada di sekolah diimunisasi, tidak ada bahaya jika saya tidak mengimunisasi anak saya

Adalah benar bahwa kemungkinan seorang anak untuk menderita penyakit akan rendah jika yang lainnya diimunisasi. Jika satu orang berpikir demikian, kemungkinan orang lain pun akan berpikir hal yang sama. Dan tiap anak yang tidak diimunisasi memberikan satu kesempatan lagi bagi penyakit menular tersebut untuk menyebar. Hal ini pernah terjadi antara tahun 1989 dan 1991 ketika terjadi wabah campak di Amerika Serikat. Perubahan laju imunisasi pada anak pra sekolah mengakibatkan lonjakan tinggi pada jumlah kasus campak, angka kematian, serta jumlah anak dengan kerusakan menetap akibatnya. Hal serupa pernah terjadi di Jepang dan Inggris pada tahun 1970 yaitu wabah pertusis (batuk rejan/batuk seratus hari) yang terjadi saat laju imunisasi menurun.
Walaupun angka laju vaksinasi cukup tinggi di Amerika Serikat, tidak dapat dijamin bahwa anak anda hanya akan kontak dengan orang-orang yang telah divaksinasi, apalagi sekarang banyak orang bepergian dari dan ke luar negeri. Sepeti wabah ensefalitis pada tahun 1999 dari virus West Nile di New York, suatu penyakit dapat menyebar ke belahan bumi lain dengan cepatnya akibat perjalanan internasional. Cara terbaik untuk melindungi anak anda adalah dengan imunisasi.

Imunisasi akan memberikan reaksi buruk pada anak saya

Reaksi umum yang paling sering terjadi akibat vaksinasi adalah keadaan yang tidak berbahaya, seperti kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan, demam, dan ruam pada kulit. Walaupun pada kasus yang jarang imunisasi dapat mencetuskan kejang dan reaksi alergi yang berat, risiko untuk terjadinya hal tersebut sangat kecil dibandingkan risiko menderita penyakit jika seorang anak tidak diimunisasi. Setiap tahunnya jutaan anak telah divaksinasi secara aman, dan hampir semua dari mereka tidak mengalami efek samping yang bermakna.
Sementara itu, penelitian secara terus menerus dilakukan untuk meningkatkan keamanan imunisasi. The American Academy of Pediatrics (AAP) sekarang menganjurkan dokter untuk menggunakan vaksin difteri, tetanus, dan pertusis yang mengandung hanya satu bagian spesifik sel kuman pertusis dibandingkan dengan yang mengandung seluruh bagian sel kuman yang telah mati. Vaksin pertusis yang aselular (DtaP) dikaitkan dengan lebih kecilnya efek samping seperti demam dan kejang.
Baru-baru ini telah disetujui untuk mengganti zat pengawet timerosal dari semua vaksinasi, seperti yang direkomendasikan oleh The Advisory Commitee on Immunization Practice (ACIP), American Academy of Pediatrics, dan United States Public Health Service (USPHS).
Timerosal adalah produk dari etil merkuri dan telah digunakan sebagai pengawet vaksin sejak 1930. Jumlah timerosal yang terkandung dalam vaksin sangat rendah, pada kadar yang tidak berhubungan dengan keracunan merkuri. Namun USPHS sekarang merekomendasikan untuk meminimalkan semua paparan terhadap merkuri, tidak peduli berapapun sedikit kadarnya, hal ini termasuk pula penggunaan termometer kaca yang mengandung merkuri.
Pada tahun 1999, The Centre for Disease Cintrol (CDC) Amerika Serikat menunda penggunaan vaksin baru rotavirus setelah beberapa orang anak menderita sumbatan di usus yang mungkin dicetuskan oleh vaksin tersebut. Walaupun hanya beberapa kasus yang dilaporkan, CDC menghentikan pemberian vaksinasi karena adanya kekhawatiran mengenai keamanannya. Setelah dilakukan penelitian, vaksin rotavirus tidak diberikan lagi.
Ada rumor yang dikuatkan, banyak diantaranya yang diedarkan melalui internet, menghubungkan beberapa vaksin dengan multipel sklerosis, sindrom kematian mendadak pada bayi (SIDS), autisme, dan masalah kesehatan lainnya. Namun beberapa penelitian gagal dalam menunjukkan hubungan antara imunisasi dengan keadaan tersebut. Angka kejadian sindrom kematian mendadak pada bayi (SIDS) telah menurun lebih dari 50% beberapa tahun ini, padahal jumlah vaksin yang diberikan tiap tahun semakin meningkat.

Anak saya tidak perlu diiimunisasi karena penyakit tersebut telah dimusnahkan

Penyakit yang jarang atau tidak terjadi lagi di Amerika Serikat, seperti polio dan campak, tetap berkembang di belahan bumi lain. Dokter melanjutkan pemberian vaksin untuk penyakit tersebut karena penyakit tersebut sangat mudah ditularkan melalui kontak dengan penderita melalui perjalanan. Hal tersebut termasuk orang-orang yang mungkin belum diimunisasi masuk ke Amerika Serikat, seperti halnya orang Amerika yang bepergian ke luar negeri.
Jika laju imunisasi menurun, penyakit yang dibawa oleh seseorang yang datang dari negara lain dapat menimbulkan keadaan sakit yang berat pada populasi yang tidak terlindungi dengan imunisasi. Pada tahun 1994 polio telah terbawa dari India ke Kanada, namun tidak menyebar karena banyak masyarakat yang telah diimunisasi. Hanya penyakit yang telah diberantas tuntas dari muka bumi, seperti cacar (smallpox), yang aman untuk dihentikan pemberian vaksinasinya.

Anak saya tidak perlu diimunisasi jika ia sehat, aktif, dan makan dengan baik

Vaksinasi dimaksudkan untuk menjaga anak tetap sehat. Karena vaksin bekerja dengan memberi perlindungan tubuh sebelum penyakit menyerang. Jika anda menunda samapi anak anda sakit akan terlambat bagi vaksin untuk bekerja. Waktu yang tepat untuk memberikan imunisasi pada anak anda adalah saat ia dalam keadaan sehat.
Imunitas hanya bertahan sebentar

Beberapa vaksin, seperti campak dan pemberian beberapa serial vaksin hepatitis B, dapat menimbulkan kekebalan seumur hidup anda. Vaksin lainnya, seperti tetanus, bertahan sampai beberapa tahun, membutuhkan suntikan ulang dalam periode waktu tertentu (booster) agar dapat terus memberi perlindungan untuk melawan penyakit. Dan beberapa vaksin, seperti pertusis, akan semakin berkurang namun tidak memerlukan suntikan ulang (booster) karena tidak berbahaya pada remaja dan dewasa. Penting untuk menyimpan catatan pemberian suntikan imunisasi anak anda sehingga anda tahu kapan ia membutuhkan suntikan ulang (booster).

Fakta bahwa penelitian tentang vaksin masih terus berlanjut dan diperbaiki menunjukkan bahwa pemberiannya belum aman

Pusat pengawas obat dan makanan merupakan badan milik pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengatur tentang vaksin di Amerika Serikat. Bekerja sama dengan CDC dan The National Institutes of Health (NIH) mereka meneruskan penelitian dan memonitor keamanan dan keefektifan pemberian vaksin.
Surat ijin bagi vaksin baru dikeluarkan setelah dilakukan penelitian laboratorium dan percobaan klinis, dan pengawasan keamanan tetap berlanjut walaupun vaksin telah disetujui. Telah dilakukan dan akan terus dilakukan perbaikan (misalnya seperti yang berlaku pada DtaP dan vaksin polio) yang akan meminimalkan efek samping yang mungkin terjadi dan untuk menjamin standar keamanan yang terbaik.


Informasi tambahan

Jelaslah bahwa vaksin adalah satu dari alat terbaik yang kita miliki agar anak sehat, namun keberhasilan dan program imunisasi bergantung pada ketersediaan. Anda bisa mendapatkan vaksin dengan harga murah atau gratis melalui klinik kesehatan masyarakat dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), dan pada kampanye vaksinasi anak (misal pekan imunisasi anak).
Anda dapat mengunjungi situs-situs kesehatan lain untuk mengetahui lebih lanjut mengenai vaksinasi. Sumber informasi lainnya adalah dokter anak anda. Bersama, anda dapat menjaga anak anda sehat dan ceria.


Salah Paham Mengenai Imunisasi
Timerosal mengakibatkan Autisme

Beberapa ilmuwan telah melemparkan wacana bahwa kandungan merkuri dalam vaksin merupakan penyebab autisme dan anak yang menderita autisme dianjurkan untuk menjalani terapi kelasi (chelation therapy, pemberian zat khusus sebagai upaya “mengikat” merkuri agar tidak dapat bereaksi dengan komponen sel tubuh) untuk detoksifikasi. Beberapa kasus telah dijadikan perkara hukum yang disidangkan dan beberapa pengacara menyebarkan informasi di internet untuk mendapatkan klien. Situasi ini semakin berkembang karena sampai sekarang beberapa vaksin masih mengandung timerosal, zat pengawet yang mengandung merkuri yang tidak digunakan lagi. Ada beberapa alasan mengapa kecemasan mengenai timerosal dalam vaksin sebenarnya merupakan informasi yang menyesatkan:
Jumlah merkuri yang terkandung sangat kecil.
Tidak ada hubungan merkuri dan autisme yang terbukti.
Tidak ada alasan yang masuk akal untuk mempercayai bahwa autisme terjadi karena sebab keracunan
Timerosal telah digunakan sebagai pengawet pada makhluk hidup dan vaksin sejak tahun 1930 karena dapat mencegah kontaminasi bakteri dan jamur, terutama pada tabung yang digunakan untuk beberapa kali pemakaian. Pada tahun 1999, FDA (Food and Drug Administration) memeriksa catatan bahwa dengan bertambahnya jumlah vaksin yang dianjurkan pada bayi, jumlah total merkuri pada vaksin yang mengandung timerosal dapat melebihi batas yang dianjurkan oleh badan pengawas lain (1). Jumlah merkuri yang ditentukan oleh FDA memiliki batas aman yang lebar, dan belum ada informasi mengenai bayi yang sakit akibatnya. Meski demikian untuk berhati-hati, US Public Health Service dan the American Academy of Pediatrics meminta dokter untuk meminimalkan paparan terhadap vaksin yang mengandung timerosal dan kepada perusahaan pembuat vaksin untuk menghilangkan timerosal dari vaksin sesegera mungkin (2). Pada pertengahan 2000 vaksin hepatitis B dan meningitis bakterial yang bebas timerosal tersedia luas.kombinasi vaksin difteri,pertusis, dan tetanus sekarang juga tersedia tanpa timerosal. Vaksin MMR, cacar air, polio inaktif, dan konjugasi pneumokok tidak pernah mengandung timerosal.
Sebelum adanya pembatasan, paparan maksimal kumulatif merkuri pada anak dalam 6 bulan pertama kehidupan dapat mencapai 187,5 mikrogram (rata-rata 1 mikrogram/hari). Pada formula vaksin yang baru paparan maksimal kumulatif selama 6 bulan pertama kehidupan adalah tidak lebih dari 3 mikrogram (3). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa batasan maksimal keduanya memiliki efek toksik (keracunan).
Pusat pengawasan dan pencegahan penyakit (CDC) telah membandingkan angka kejadian autisme dengan jumlah timerosal yang ada dalam vaksin. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada perubahan relatif angka kejadian antara autisme dengan jumlah timerosal yang diterima anak dalam 6 bulan pertama kehidupan (dari 0-160 mikrogram). Hubungan yang lemah ditemukan antara asupan timerosal dan beberapa kelainan pertumbuhan saraf (seperti gangguan pemusatan perhatian) pada satu penelitian saja, namun tidak terbukti pada penelitian selanjutnya (4). Penelitian lain yang direncanakan sepertinya juga tidak akan menunjukkan hubungan bermakna.
Komite Intitute of Medicine (IOM) yang telah menyebarkan luaskan laporannya pada bulan Oktober 2001 menemukan tidak ada bukti hubungan antara vaksin yang mengandung timerosal dan autisme, ggangguan pemusatan perhatian, keterlambatan bicara dan bahasa, atau kelainan perkembangan saraf lainnya (5)
Penggunaan terapi kelasi untuk penanganan anak yang menderita autisme sama sekali tidak berhubungan.


VAKSIN MMR MENYEBABKAN AUTISME?

Akhir-akhir ini pada sebagian masyarakat tersebar informasi tentang dugaan adanya hubungan antara autisme dengan imunisasiMMR (Measles, Mumps, Rubella) yang menimbulkan keresahan yang berbuntut penolakan dan penundaan
terhadap imunisasi/vaksin MMR yang sedianya diciptakan untuk mencegah terjangkitnya penyakit infeksi akibat virus measles/campak, mumps/gondongan dan rubella, yang mematikan dan dapat mengakibatkan cacat seumur hidup pada anak.

PENJELASAN:

Message #1: Vaksin MMR (M=Measles/Campak; M=Mumps/Gondong; R=Rubella) terbukti tidak menyebabkan autis
Berbagai penelitian dan studi tidak menemukan bukti bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan autis.
Studi terakhir berbasis populasi di London Utara telah dipublikasikan di British Medical Journal (BMJ 2002;324:393-396). 473 orang dengan gejala autisme yang lahir antara 1979 dan 1998 telah diperiksa.
Kesimpulan penelitian ini adalah sbb:
“Penelitian ini menemukan bahwa tidak adanya keterkaitan antara MMR dengan bentuk “varian baru” dari autisme dengan regresi perkembangan anak dan masalah usus (bowel disorder), dan merupakan suatu bukti yang lebih kuat untuk menyatakan tidak adanya keterlibatan vaksin MMR dengan inisiasi autisme.”

STUDI-STUDI TERBARU MENGENAI MMR & EFEK SAMPING

The risk of seizures after receipt of whole-cell pertussis or measles, mumps, and rubella vaccine. N Engl J Med. 2001 Aug 30;345(9):656-61. Barlow WE et al.
Tidak ada konsekuensi efek samping jangka panjang yang ditemukan sehubungan dengan pemberian vaksin DPT dan MMR.
Measles-Mumps-Rubella Vaccine and Autistic Spectrum Disorder: Report From the New Challenges in Childhood Immunizations Conference Convened in Oak Brook, Illinois, June 12-13, 2000. Pediatrics 2001;107(5). Halsey, Neal
A.; Hyman, Susan L.
Para peneliti dalam studi ini mempelajari lebih dari 1.000 referensi yang ada di literatur ilmiah dan menggambarkan bahwa riset mereka tidak mendukung hipotesa bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme, gangguan spektrum autisme atau penyakit inflamasi usus. Salinan komplit dari studi ini tersedia dalam versi online Pediatrik di
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/107/5/e84
Institute of Medicine (IOM) Committee Rejects Causal Relationship Between Measles-Mumps-Rubella Vaccine and Autism Spectrum Disorder Pada suatu diskusi publik tgl. 23 April 2001, Komite institusi obat yang menelaah keamanan imunisasi mengeluarkan suatu laporan yang mana mereka menyimpulkan penolakan terhadap hubungan kausal/penyebab antara vaksin campak-gondong-rubela (MMR) dan gangguan spektrum autisme, yang dikenal sebagai autisme. Teks lengkap dari laporan ini tersedia di www.iom.edu/imsafety
Evidence shows genetics, not MMR vaccine, determines autism (AAP News December 1999) by Charles G. Prober, MD, FAAP. Bukti-bukti menunjukkan bahwa genetiklah, bukan vaksin MMR yang menyebabkan autisme
No evidence for measles, mumps, and rubella vaccine-associated inflammatory bowel disease or autism in a 14-year prospective study. (Lancet 1998;351:1327-8) (5-02-98) Studi pada 31 anak-anak di Finlandia dengan gejala-gejala
gastrointestinal setelah kira-kira 3 juta anak yang divaksinasi. Dr. Peltola dkk, setelah lebih dari 10 tahun mengikuti efek samping-efek samping yang berasosiasi dengan vaksin MMR, menemukan tidak adanya data yang menghubungkan antara vaksin MMR dengan gangguan perkembangan anak atau penyakit inflamasi usus.
No evidence to support an association between measles, measles vaccination and Crohn's disease - three letters in June 6 1998 British Medical Journal.
Tidak dijumpai adanya hubungan antara vaksinasi campak dengan penyakit Crohn

PERNYATAAN-PERNYATAAN PENTING SEPUTAR VAKSIN MMR & AUTISME

1. Pernyataan dari Departemen Kesehatan RI, Badan POM dan Ketua IDAI:
http://www.aventispasteur.co.id/artikel_004.htm
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kaitan antara kejadian autisme pada anak dengan imunisasi MMR.

2. Pernyataan dari Badan Kesehatan Dunia/WHO:

a. Pernyataan WHO: MMR tidak ada hubungannya dengan Autisme.
http://www.who.int/vaccine_safety/topics/mmr/mmr_autism/en/

b. Posisi WHO terhadap isu MMR & Autisme.
http://www.who.int/inf-pr-2001/en/state2001-02.html

c. Posisi WHO terhadap isu thiomersal dalam vaksin MMR menyebabkan autisme
http://www.who.int/vaccine_safety/topics/thiomersal/en/
http://www.who.int/vaccine_safety/topics/thiomersal/statement200308/en/index.html
http://www.who.int/vaccine_safety/topics/thiomersal/questions/en/index.html

3. Pernyataan dan telaah Autisme dari CDC-Atlanta:
http://www.cdc.gov/nip/vacsafe/concerns/autism/default.htm
http://www.cdc.gov/nip/vacsafe/concerns/autism/cadata.htm
http://www.cdc.gov/nip/vacsafe/concerns/autism/autism-mmr.htm
http://www.cdc.gov/nip/vacsafe/concerns/gen/multiplevac.htm
Bobot dari bukti-bukti ilmiah yang saat ini ada tidak mendukung hipotesa bahwa vaksin menyebabkan autisme. Kami mengerti bahwa ketertarikan publik terhadap isu ini, dan oleh sebab itu mendukung riset tambahan terhadap hipotesa ini. CDC berkomitmen untuk menjaga keamanan, vaksin yang sangat efektif yang disuplai sepanjang sejarah.

4. Pernyataan dari American Academy of Pediatrics:
http://www.aap.org/advocacy/washing/23apr01.htm
American Academy of Pediatrics secara berkesinambungan merekomendasi para orang tua untuk memvaksinasi penuh anak-anaknya untuk mencegah penyakit yang berbahaya seperti campak. Walaupun ada usulan beberapa orang agar
kombinasi MMR dipisah, menurut kami tidak ada alasan untuk melakukan hal tsb.

5. Buku yang mengupas secara lengkap isu mengenai MMR & Autisme (102 halaman):
http://www.nap.edu/catalog/10101.html

6. Tambahan info dalam bahasa Indonesia:
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=189802&kat_id=13 “Vaksin MMR Tidak Menyebabkan Autis”
http://www.aventispasteur.co.id/artikel_view.asp?x=8 “Thimerosal dan Autisme”
http://www.aventispasteur.co.id/artikel_view.asp?x=2 “Vaksin MMR Apakah Hubungannya Dengan Autisme?”

Message #2: Vaksin adalah tindakan pencegahan yang sangat efektif.
Vaksin mempunyai dampak kemanusiaan yang sangat besar karena diciptakan untuk mencegah terjangkitnya penyakit-penyakit infeksi yang sering timbul dan mudah menular.

Mencegah sebelum terjadi jauh lebih baik daripada mengobati. Memang vaksin tidak memberikan proteksi 100%, tapi setidaknya bila si anak terkena penyakit yg sudah dapat.vaksinnya, maka kerugian yang ditimbulkan akan sangat berkurang.

Proses penemuan dan pembuatan dan launching suatu vaksin merupakan proses yang panjang, hard labor, dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum suatu vaksin dinyatakan aman (bukan sekedar efektif) bagi konsumennya. Implementasi program imunisasi itu merupakan kerjasama dankeputusan bersama dari banyak pihak seperti:

1. Organisasi internasional (WHO, Unicef)

2. Organisasi kemanusiaan (GAVI, PATH, dll)

3. Kebijakan nasional masing2 negara

4. Para peneliti dan institusi besarnya

5. Para pembuat vaksin

Semua pihak tidak akan bersusah payah seperti itu bila vaksin memang merugikan.

Message #3: Bahaya yang Anak Anda hadapi dengan penolakan/penundaan pemberian vaksin MMR bisa sangat fatal!!
Seluruh dunia sangat khawatir dengen meningkatnya wabah penyakit menular akibar virus MMR yg menyebabkan meningkatnya angka kematian bayi dan anak.

Tahukah Anda akibat yang bisa disebabkan oleh virus MMR? Mumps/gondongan bisa menyebabkan anak menjadi tuli. Virus measle/campak bisa menimbulkan radang otak atau viral encephalitis, dan bila terinfeksi bisa menyebabkan kerusakan pada otak, CP vegetatif (hidup – tetapi seperti tanaman akibat kerusakan otak) atau bahkan kematian. Virus rubella bisa menyebabkan bayi cacat (katarak, kelainan jantung, otaknya rusak dan kecil), dll.

Jangan karena imaginary scared, suatu ketakutan yang tidak beralasan dan tidak terbukti mengenai vaksin MMR-autis ini, anak anda malah didahapkan ke bahaya-bahaya nyata yang dapat terjadi bila tidak/menunda vaksin MMR, sebuah resiko tinggi yang tidak hanya berpotensi membahayakan jiwa, tetapi juga membuat cacat seumur hidup. Please be smart, for the sake of your children

Imunisasi merupakan upaya yg sangat cost-effective, aman, murah, mudah, dan tentunya lebih etis TENTUNYA LEBIH ETIS (DALAM BAHASA AWAMNYA LEBIH MANUSIAWI) KETIMBANG MEMBIARKAN ANAK JATUH SAKIT.


MENYIKAPI KONTROVERSI AUTISME DAN IMUNISASI MMR

dr. Widodo Judarwanto, Rumah Sakit Bunda Jakarta dalam waktu terakhir ini kasus penderita autisme tampaknya semakin meningkat pesat. Autisme tampak menjadi seperti epidemi ke berbagai belahan dunia. Dilaporkan terdapat kenaikan angka
kejadian penderita Autisme yang cukup tajam di beberapa negara. Keadaan tersebut di atas cukup mencemaskan mengingat sampai saat ini penyebab autisme multifaktorial, masih misterius dan sering menjadi bahan perdebatan diantara para klinisi.

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi MMR (Mumps, Measles, Rubella). Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi MMR dapat mengakibatkan autisme. Akibatnya anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk menghindari penyakit-penyakit justru yang lebih berbahaya seperti hepatitis B, Difteri, Tetanus, pertusis, TBC dan sebagainya. Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa autism tidak berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi memang terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa
Autism dan imunisasi MMR berhubungan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup
Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen Rubella
dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.

Pendapat yang mendukung autism berkaitan dengan imunisasi :
Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan Autisme mungkin berhubungan dengan imunisasi MMR.
Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan, pernah dilaporkan kasus meningoensfalitis pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa tempat lainnya.
Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat, kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak dapat dijelaskan, defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual
atau bicara yang serupa dengan gejala pada anak autism.

Andrew Wakefielddari Inggris melakukan penelitian terhadap 12 anak, ternyata terdapat gangguan Inflamantory Bowel disesase pada anak autism. Hal ini berkaitan dengan setelah diberikan imunisasi MMR. Bernard Rimland dari Amerika juga mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Wakefield dan Montgomery melaporkan adanya virus morbili (campak) dengan autism pada 70 anak dari 90 anak autism dibandingkan dengan 5 anak dari 70 anak yang tidak autism. Hal ini hanya menunjukkan hubungan, belum membuktikan adanya sebab akibat.

Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autisme disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi. Sedangkan beberapa orang tua penderita autisme di Indonesia pun berkesaksian bahwa anaknya terkena autisme setelah diberi imunisasi

Pendapat yang menentang bahwa imunisasi menyebabkan autisme Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa MMR tidak mengakibatkan Autisme lebih banyak lagi dan lebih sistematis. Brent Taylor, melakukan penelitian epidemiologik dengan menilai 498 anak dengan Autisme. Didapatkan kesimpulan terjadi kenaikkan tajam penderita
autism pada tahun 1979, namun tidak ada peningkatan kasus autism pada tahun 1988 saat MMR mulai digunakan. Didapatkan kesimpulan bahwa kelompok anak yang tidak mendapatkan MMR juga terdapat kenaikkan kasus aurtism yang sama dengan kelompok yang di imunisasi MMR.

Dales dkk seperti yang dikutip dari JAMA (Journal of the American Medical Association) 2001, mengamati anak yang lahir sejak tahun 1980 hingga 1994 di California, sejak tahun 1979 diberikan imunisasi MMR. Menyimpulkan bahwa kenaikkan angka kasus Autism di California, tidak berkaitan dengan mulainya pemberian MMR.

Intitute of medicine, suatu badan yang mengkaji keamanan vaksin telah melakukan kajian yang mendalam antara hubungan Autisme dan MMR. Badan itu melaporkan bahwa secara epidemiologis tidak terdapat hubungan antara MMR dan ASD. The British Journal of General Practice mepublikasikan penelitian De Wilde, pada bulan maret
2001. Meneliti anak dalam 6 bulan setelah imunisasi MMR dibandingkan dengan anak
tanpa Autisme. Menyimpulkan tidak terdapat perubahan perilaku anak secara bermakna antara kelompok control dan kasus. Pada jurnal ilmiah Archives of Disease in Childhood, September 2001, The Royal College of Paediatrics and Child Health, menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung adanya hipoteda kaitan imunisasi MMR dan Autisme. Para profesional di bidang kesehatan tidak usah ragu dalam merekomendasikan imunisasi MMR pada pasiennya..

Makela A, Nuorti JP, Peltola H tim peneliti dari Central Hospital Helsinki dan universitas Helsinky Finlandia pada bulan Juli 2002 telah melakukan penelitian terhadap 535.544 anak yang mendapatkan imunisasi MMR sejak 1982 hingga 1986, yang dilakukan pengamatan 3 bulan setelah di Imunisasi. Mereka menyimpulkan bahwa tidak
menunjukkan hubungan yang bermakana antara imunisasi MMR dengan penyakit neurologis (persrafan) seperti ensefalitis, aseptik meningitis atau autisme.
Kreesten Meldgaard Madsen dkk bulan November 2002,melakukan penelitian sejak tahun 1991 - 1998 terhadap 440.655 anak yang mendapatkan imunisasi MMR. Hasilnya menunjukkan tidak terbukti hipotesis hubungan MMR dan Autisme.

Rekomendasi Intitusi atau Badan Kesehatan Dunia Beberapa institusi atau badan dunia di bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya juga
melakukan kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak adanya hubungan imunisasi dan
autisme. Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk tenaga profesional untuk tetap menggunakan imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti mengakibatkan Autisme.

The All Party Parliamentary Group on Primary Care and Public Health pada bulan Agustus 2000, menegaskan bahwa MMR aman. Dengan memperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara beberapa kondisi seperti inflammatory bowel disease (gangguan
pencernaan) dan autisme adalah tidak berdasar.

WHO (World Health Organisation), pada bulan Januari 2001 menyatakan mendukung sepenuhnya penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan efikasinya.

Beberapa institusi dan organisasi kesehatan bergengsi di Inggris termasuk the British Medical Association, Royal College of General Practitioners, Royal College of Nursing, Faculty of Public Health Medicine, United Kingdom Public Health Association, Royal College of Midwives, Community Practitioners and Health Visitors Association, Unison, Sense, Royal Pharmaceutical Society, Public Health Laboratory Service and Medicines Control Agency pada bulan januari tahun 2001
setelah mengadakan pertemuan dengan pemerintahan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama yaitu MMR adalah vaksin yang sangat efektif dengan laporan keamanan yang sangat baik. Secara ilmiah sangat aman dan sanagat efektif untuk melindungi anak dari penyakit. Sangat merekomendasikan untuk memberikan MMR terhadap anak dan tanpa menimbulkan resiko.

The Committee on Safety of Medicine (Komite Keamanan Obat) pada bulan Maret 2001, menyatakan bahwa kesimpulan dr Wakefield tentang vaksin MMR terlalu premature. Tidak terdapat sesuatu yang mengkawatirkan. The Scottish Parliament?s Health and Community Care Committee, juga menyatakan pendapat tentang kontroversi yang terjadi, yaitu Berdasarkan pengalaman klinis berbasis bukti, tidak terdapat hubungan secara ilimiah antara MMR dan Autisme atau Crohn disease. Komite tesebut tidak merekomendasikan perubahan program imunisasi yang telah ditetapkan sebelum nya bahwa MMR tetap harus diberikan.

The Irish Parliament?s Joint Committee on Health and Children pada bulan September 2001, melakukan review terhadap beberapa penelitian termasuk presentasi Dr Wakefield yang mengungkapkan AUTISM berhungan dengan MMR. Menyimpulkan tidak ada hubungan antara MMR dan Autisme. Tidak terdapat pengalaman klinis lainnya yang
mebuktikan bahan lain di dalam MMR yang lebih aman dibandingkan kombinasi imunisasi. MMR.

The American Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi dokter anak di Amerika Serikat pada tanggal 12 ? 13 Juni 2000 mengadakan konferensi dengan topik "New Challenges in Childhood Immunizations" di Oak Brook, Illinois Amerika Serikat yang dihadiri para orang tua penderita autisme, pakar imunisasi kesehatan anak dan
para peneliti. Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat huibungan
antara MMR dan Autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi secara terpisah tidak lebih baik dibandingkan MMR, malahan terjadi keterlambatan imunisasi MMR. Selanjutnya akan dilakukan penelitian lebih jauh tentang penyebab Autisme.

BAGAIMANA SIKAP KITA SEBAIKNYA ?
Bila mendengar dan mengetahui kontroversi tersebut, maka masyarakat awam bahkan beberapa klinisipun jadi bingung. Untuk menyikapinya kita harus cermat dan teliti dan berpikiran lebih jernih. Kalau mengamati beberapa penelitian yang mendukung adanya autisme berhubungan dengan imunisasi, mungkin benar sebagai pemicu. Secara umum penderita autisme sudah mempunyai kelainan genetik (bawaan) dan biologis sejak awal. Hal ini dibuktikan bahwa genetik tertentu sudah hampir dapat diidentifikasi dan penelitian terdapat kelainan otak sebelum dilakukan imunisasi. Kelainan autism ini bisa dipicu oleh bermacam hal seperti imunisasi, alergi makanan, logam berat dan sebagainya. Jadi bukan hanya imunisasi yang dapat memicu timbulnya autisme. Pada sebuah klinik tumbuh kembang anak didapatkan 40 anak dengan autism tetapi semuanya tidak pernah diberikan imunisasi. Hal ini membuktikan bahwa pemicu autisme bukan hanya imunisasi.

Penelitian yang menunjukkan hubungan keterkaitan imunisasi dan autism hanya dilihat dalam satu kelompok kecil (populasi) autism. Secara statistik hal ini hanya menunjukkan hubungan, tidak menunjukkan sebab akibat. Kita juga tidak boleh langsung terpengaruh pada laporan satu atau beberapa kasus, misalnya bila orang tua anak autism berpendapat bahwa anaknya timbul gejala autism setelah imunisasi.
Kesimpulan tersebut tidak bisa digeneralisasikan terhadap anak sehat secara umum
(populasi lebih luas). Kalau itu terjadi bisa saja kita juga terpengaruh oleh beberapa makanan yang harus dihindari oleh penderita autism juga juga akan dihindari oleh anak sehat lainnya. Jadi logika tersebut harus dicermati dan dimengerti.

Bila terpengaruh oleh pendapat yang mendukung keterkaitan autism dan imunisasi tanpa melihat fakta penelitian lainnya yang lebih jelas, maka kita akan mengabaikan imunisasi dengan segala akibatnya yang jauh lebih berbahaya pada anak. Penelitian dalam jumlah besar dan luas secara epidemiologis lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang bergengsi pun telah mengeluarkan rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR. Hal ini juga menambah keyakinan kita bahwa memang Imunisasi MMR memang benar aman.

Kontroversi itu terus berlanjut terus, namun kita bisa mengambil hikmah dan jalan yang terbaik anak kita harus imunisasi atau tidak ?
Untuk meyakinkan hal tersebut mungkin kita bisa berpedoman pada banyak penelitian yang lebih dipercaya validitasnya secara statistik dengan populasi lebih banyak dan luas yaitu Autisme tidak berhubungan dengan MMRl. Demikian pula kita harus percaya terhadap rekomendasi berbagai badan dunia kesehatan yang independen dan terpercaya setelah dilakukan kajian ilmiah terhadap berbagai penelitian yang
dilakukan oleh beberapa pakar kesehatan anak di berbagai dunia maju.

Dari beberapa hal tersebut diatas, tampaknya dapat disimpulkan bahwa Imunisasi MMR tidak mengakibatkan Autisme, bila anak kita sehat dan tidak berbakat autisme. Tetapi diduga imunisasi dapat memicu memperberat timbulnya gangguan perilaku pada anak yang sudah mempunya bakat autisme secara genetik sejak lahir.

Tetapi tampaknya teori, penelitian atau pendapat beberapa kasus yang mendukung keterkaitan autisme dengan imunisasi, tidak boleh diabaikan bergitu saja. Meskipun laporan penelitian yang mendukung hubungan Autisme dan imunisasi hanya dalam populasi kecil atau bahkan laporan perkasus anak autisme. Sangatlah bijaksana untuk lebih waspada bila anak kita sudah mulai tampak ditemukan penyimpangan
perkembangan atau perilaku sejak dini, memang sebaiknya untuk mendapatkan imunisasi MMR harus berkonsultasi lebih jelas dahulu dengan dokter anak. Bila anak
kita sudah dicurigai ditemukan bakat kelainan Autism sejak dini atau beresiko terjadi autisme, mungkin bisa saja menunda dahulu imunisasi MMR sebelum dipastikan diagnosis Autisme dapat disingkirkan. Meskipun sebenarnya pemicu atau faktor yang memperberat Autisme bukan hanya imunisasi. Dalam hal seperti ini kita harus memahami dengan baik resiko, tanda dan gejala autisme sejak dini.

Tetapi bila anak kita sehat, tidak beresiko atau tidak menunjukkan tanda dini gejala Autisme maka kita tidak perlu kawatir untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran terhadap imunisasi tanpa didasari pemahaman yang baik dan pemikiran yang jernih akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang baru pada anak kita. Dengan menghindari imunisasi maka akan timbul permasalahan baru yang lebih berbahaya dan dapat mengancam jiwa terutama bila anak terkena infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi.


Pemberian Imunisasi Berjarak dan Bersamaan

Prinsip umum pemberian vaksin secara berjarak dan bersamaan adalah sebagai berikut:
Harus diperhatikan rentang waktu minimal yang dianjurkan antara dosis vaksin yang berurutan (Tabel 2); pengurangan rentang waktu minimal yang dianjurkan dapat menyebabkan pengaruh negatif dari respon antibodi dan kekebalan.
Peningkatan rentang waktu minimal yang dianjurkan antara dosis vaksin yang berurutan tidak mengurangi efektivitas vaksin tersebut.
Tidak perlu mengulang pemberian vaksin dari awal lagi bila rentang waktu pemberian suatu seri vaksin terlalu jauh; seri vaksin harus dilengkapi segera mungkin tapi tidak diulang (pengecualian: vaksin tifoid oral harus diebrikan sesuai yang dianjurkan)
Tidak terdapat indikasi kontra terhadap pemberian beberapa jenis vaksin secara bersamaan, vaksin harus diberikan pada tempat yang berbeda. Di Amerika Serikat pemberian vaksin kolera dan demam kuning secara bersamaan tidak dianjurkan (karena menurunkan respon antibodi), pemberian vaksin setidaknya berbeda 3 minggu.
Jika beberapa vaksin tidak diberikan secara bersamaan, rekomendasi jarak pemberian vaksin sebagai berikut:
Rentang waktu antara dua vaksin hidup yang berbeda harus dalam 4 minggu.
Dianjurkan pemberian tanpa rentang waktu antara vaksin yang dilemahkan/toksoid/subunit yang berbeda atau antara vaksin hidup dan vaksin yang dilemahkan/toksoid/subunit.

Prinsip umum dari rentang waktu diterimanya antara produk darah yang mengandung antibodi dan vaksin adalah sebagai berikut:
Vaksin yang dilemahkan/toksoid umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi (yang beredar dalam aliran darah) terhadap antigen (komponen protein yang dianggap asing oleh tubuh) termasuk vaksin.
Vaksin hidup dapat dipengaruhi oleh antibodi (yang beredar dalam aliran darah) terhadap virus dalam vaksin tersebut, oleh karena itu: jika vaksin pertama kali diberikan, ditunggu sampai 2 minggu sebelum pemberian produk darah yang mengandung antibodi; jika produk darah mengandung antibodi diberikan lebih dahulu, ditunggu setidaknya 3 bulan sebelum pemberian vaksin hidup.

Vaksin (Imunisasi Dasar) Rentang waktu minimal antara dosis 1 dan dosis 2 Rentang waktu minimal antara dosis 2 dan dosis 3 Rentang waktu minimal antara dosis 3 dan dosis 4
DTP/DT/DTaP 4 minggu 4 minggu 6 bulan
Haemophilus influenzae (Hib) 4 minggu 4 minggu
Hepatitis A 6 bulan
Hepatitis B 4 minggu 8 minggu
Measles-mumps-rubella (MMR) 4 minggu
Pneumococcal Vaccine yang dikonjugasi 4 minggu 4 minggu
Pneumococcal Polysaccharide Vaccine 5 tahun
Poliomyelitis (IPV) 4 minggu 4 minggu
Poliomyelitis (OPV) 4 minggu 4 minggu
Varicella 4 minggu

Tabel 1 – Rentang waktu minimal antara dosis vaksin yang berurutan berdasarkan tipe vaksin*
* vaksin kombinasi tidak termasuk di dalam tabel, rentang waktu minimal antara dosis vaksin yang akan diberikan merupakan rentang waktu minimal terbaik untuk setiap masing-masing antigen.
(Diikuti[p dari Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan the American Academy of Family Physicians (AAFP). General recommendations on Immunization. Morbid Mortal Wkly Rep 2002;51(RR-2).

Keterkaitan struktur Vaksin

Vaksin dari pabrik yang berbeda dapat mengandung antigen/kandungan antigen yang berbeda atau stabilisator atau zat pengawet yang berbeda. Berdasarkan data yang ada menunjukkan vaksin hepatitis A, hepatitis B, dan Hib campuran memiliki keterkaitan struktur dengan vaksin imunisasi dasar yang berkesesuaian. Tidak adanya data hubungan serologis yang jelas terhadap perlindungan pertusis, keaakuratan dari data yang terbatas mengenai imunogenitas untuk setiap vaksin DTaP yang digunakan pada imunisasi dasar tidak diketahui. Oleh karena itu dianjurkan lebih baik menggunakan vaksin DTaP merek yang sama (atau vaksin kombinasi dengan DTaP) untuk semua dosis imunisasi dasar. Akan tetapi pemberian rangkaian imunisasi tidak boleh terputus hanya karena merek vaksin terdahulu tidak diketahui atau tidak tersedia.
Sumber : http://www.worldwidevaccines.com/general_rec/page4_new.asp#spacing


BAGAIMANA VAKSIN BEKERJA?

From Original Article: How Vaccines Work
Source: http://www.mayoclinic.com/invoke.cfm?id=ID00023
Translated by: Imelda Scorvia
Bakteri, virus dan kuman-kuman lainnya mengancam tubuh setiap harinya. Namun ketika suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme menyerang tubuh, sistem imun atau sistem kekebalan tubuh akan meningkatkan sistem pertahanannya dengan memproduksi sejenis protein yang disebut dengan “antibodi” untuk melawan ‘serangan-serangan asing’. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh adalah untuk mencegah berbagai penyakit dengan membinasakan ‘serangan-serangan’ asing ataupun mengupayakan sebuah keamanan dalam tubuh.
Vaksin merangsang sistem kekebalan tubuh. Untuk memahami cara kerja vaksin, anda perlu sedikit mengetahui perihal bagaimana tubuh dapat mencapai imunitas.

Memahami Imunitas / Kekebalan Tubuh

Tubuh dapat menjadi kebal terhadap bakteri, virus maupun kuman lainnya dengan dua cara:
Dengan mengalami suatu penyakit (imunitas/kekebalan alami)
Melalui vaksin (kekebalan akibat vaksin / vaccine-induced immunity)
Apapun bentuk kekebalannya, baik kekebalan alami ataupun kekebalan dari vaksin, ketika tubuh memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme, maka tubuh anda telah terlindungi terhadap penyakit tersebut dengan lebih baik.

Imunitas / Kekebalan Alami

Kekebalan alami terbentuk setelah tubuh terpapar oleh organisme tertentu. Sistem kekebalan tubuh menggerakkan suatu pertahanan yang kompleks untuk mencegah tubuh terjangkit oleh penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut.
Terpaparnya tubuh terhadap suatu ‘serangan asing’ merangsang produksi sel darah putih tertentu dalam tubuh yang disebut dengan B cells. B cells ini memproduksi sel-sel plasma, yang bertugas memproduksi antibodi khusus untuk melawan ‘penyerang asing’ ini. Antibodi ini beredar dalam cairan tubuh. Jika suatu saat si ‘penyerang asing’ masuk kembali ke dalam tubuh, antibodi akan segera mengenalinya dan langsung menghancurkannya. Ketika tubuh telah memproduksi suatu antibodi tertentu, maka tubuh dapat memproduksi antibodi ini dalam jumlah lebih jika diperlukan.
Selain tugas dari B cells, suatu sel darah putih yang disebut makrofag pun menghadapi dan menghancurkan ‘penyerang asing’. Jika tubuh menghadapi suatu kuman yang belum pernah ditemui sebelumnya, informasi mengenai kuman ini diteruskan kepada sel darah putih yang disebut dengan T cells. Sel ini membantu memproduksi sel-sel penyerang infeksi lainnya.
Sekali tubuh pernah menghadapi suatu virus atau bakteri tertentu, dan ketika suatu saat tubuh menghadapinya kembali, antibodi dan memori T cells langsung bekerja. Mereka segera bereaksi terhadap organisme tersebut dan menyerangnya sebelumnya penyakit berkembang lebih lanjut. Sistem kekebalan tubuh dapat mengenali dan menyerang ribuan organisme yang berbeda-beda secara efektif.

Kekebalan Tubuh akibat Vaksin (Vaccine-induced Immunity)

Kekebalan tubuh akibat vaksin dihasilkan setelah tubuh anda menerima suatu vaksin. Vaksin memicu kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk menyerang suatu infeksi tanpa menghadapi penyakit yang disebabkan oleh kuman terlebih dahulu. Vaksin terdiri dari kuman yang telah dibunuh ataupun kuman yang telah dilemahkan ataupun derivative of the infectious germ. Ketika diberikan kepada seseorang yang sehat, vaksin memicu reaksi dari sistem kekebalan tubuh. Vaksin membuat tubuh berfikir bahwa pada saat ini dirinya tengah diserang oleh organisme tertentu, dan sistem kekebalan tubuh segera bekerja untuk menghancurkan si ‘penyerang’ dan mencegah agar tidak terserang infeksi tersebut di kemudian hari.
Jika tubuh terpapar oleh suatu jenis penyakit dimana tubuh telah divaksinasi sebelumnya, kuman penyebab penyakit akan dihadang dan dihancurkan oleh antibodi. Kekebalan yang terbentuk melalui vaksinasi serupa dengan kekebalan yang diperoleh akibat dari infeksi alami.

Ketika vaksinasi berlangsung, vaksin yang berasal dari virus, bakteri atau organisme yang telah mati maupun yang sudah dalam bentuk ‘aman’, disuntikkan ke dalam sistem (kiri). Vaksin merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap suatu organisme (tengah). Kapanpun tubuh terserang oleh kuman ini setelah vaksinasi, antibodi pada sistem kekebalan tubuh menyerang dan menghentikan infeksi (kanan).
Beberapa dosis vaksin mungkin dibutuhkan untuk mencapai suatu reaksi kekebalan sepenuhnya. Sebagian orang gagal mencapai kekebalan penuh pada dosis yang pertama namun bereaksi pada dosis berikutnya. Sebagai tambahan, kekebalan dari beberapa vaksin seperti tetanus dan pertusis, tidaklah berlangsung seumur hidup. Hal ini disebabkan karena reaksi kekebalan dapat berkurang sejalan dengan waktu, dan anda perlu memperoleh vaksin booster untuk mengembalikan ataupun meningkatkan kekebalan.


Jenis-jenis Vaksin

Vaksin disiapkan dengan berbagai cara. Meskipun demikian, tujuannya tetap sama yaitu untuk merangsang timbulnya kekebalan tanpa menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup yang dilemahkan. Beberapa vaksin, seperti vaksin untuk measles (campak), mumps (gondongan) dan chickenpox (varicella), menggunakan virus hidup yang telah dilemahkan. Vaksin jenis ini mengakibatkan reaksi antibodi yang kuat, dan kadang-kadang hanya membutuhkan satu dosis untuk mendapatkan kekebalan seumur hidup.
Vaksin Inaktifasi. Jenis vaksin lainnya yakni berasal dari bakteri atau virus yang telah dimatikan (di-inaktifasi). Vaksin polio dibuat dengan cara ini. Vaksin jenis ini pada umumnya lebih aman dari vaksin hidup karena organisme penyebab penyakit tersebut tidak dapat bermutasi kembali menjadi penyebab penyakit, seperti statusnya sebelum dimatikan.
Vaksin Toxoid. Beberapa jenis bakteri menyebabkan sebuah penyakit dengan cara memproduksi toksin yang menyerang dalam aliran darah. Vaksin toxoid, seperti vaksin difteri dan tetanus, menggunakan toksin dari bakteri yang telah ‘diamankan’ untuk memberikan kekebalan terhadap toksin.
Acellular and Subunit Vaccines. Vaksin jenis ini dibuat dengan hanya menggunakan bagian dari suatu virus atau bakteri. Vaksin hepatitis dan vaksin Haemophilus influenzae type B dibuat dengan cara ini.
Pada saat ini, hampir dua puluh empat vaksin untuk penyakit yang berbeda-beda telah mendapat lisensi untuk digunakan di U.S. Sebanyak 12 dari vaksin-vaksin ini direkomendasikan untuk anak berusia dibawah 2 tahun. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, usaha imunisasi yang meluas dan gigih telah berhasil menurunkan timbulnya beberapa penyakit serius – termasuk difteri, tetanus, campak dan polio – hingga lebih dari 95% sejak permulaan abad ke – 20.
Meskipun demikian, ternyata masih cukup banyak masyarakat Amerika yang belum diimunisasi. Hal ini berarti bahwa mereka tidak mendapat satu atau lebih imunisasi yang direkomendasi ataupun tidak menerima satu rangkaian imunisasi lengkap sehingga tubuh tidak terlindungi sepenuhnya.

Kekebalan dari Vaksin Vs Kekebalan Alami: Mana yang lebih baik?

Perolehan kekebalan alami mengandung resiko yang patut dipertimbangkan. Beberapa penyakit (yang sebenarnya dapat dilindungi dengan vaksin) dapat menyebabkan kematian ataupun kerusakan permanen/cacat tetap, seperti kelumpuhan akibat penyakit polio, ketulian akibat penyakit meningitis, kerusakan hati akibat penyakit hepatitis B, ataupun kerusakan otak (encephalitis) akibat penyakit campak (measles). Kekebalan dari vaksin memberikan perlindungan yang sama dengan yang diperoleh dari kekebalan alami. Namun di saat yang sama, vaksin jarang menempatkan seseorang dalam resiko yang menyebabkan komplikasi serius akibat suatu infeksi.
Sebagian orang percaya bahwa banyak diantara mereka terserang suatu penyakit meskipun telah divaksinasi. Dan mereka berargumentasi bahwa kekebalan dari vaksin tidaklah efektif. Memang benar vaksin tidak 100% bersifat melindungi. Sebagian besar vaksin yang diberikan di masa anak-anak memiliki efektifitas sebesar 85% hingga 95%. Selama terjangkitnya suatu penyakit, beberapa orang yang telah divaksinasi tentu saja akan menerima penyakit tersebut. Namun, seseorang yang telah diimunisasi akan menghadapi lebih sedikit penyakit serius, sementara itu bahaya terbesar tengah dihadapi oleh seseorang yang tidak diimunisasi.



IMUNISASI Hib
http://www.moh.gov.my/JKNPenang/Maklumat_utama/Panduan/Panduan-Hib.htm
Apa itu Hib?
Hib adalah singkatan untuk Haemophilus influenzae type b, sejenis bakteria yang menyebabkan penyakit yang dapat berakibat fatal, seperti:
Radang selaput otak ( Meningitis) -jangkian pada selaput otak dan saraf tunjang Radang paru- paru (Pneumonia) - jangkitan pada paru- paru Radang epiglotis ( kerongkong ) - jangkitan pada epiglottis Keracunan darah ( septicaemia ) - jangkitan darah Radang sendi - jangkitan pada sendi
Penyakit Hib, jangkitan HIV dan Hepatitits B BUKAN satu penyakit yang sama. Vaksin pencegah Hepatitis B adalah vaksin Hepatitis B manakala vaksin penyakit Hib adalah vaksin Hib.
Mengapa penyakit Hib berbahaya?
Mudah berjangkit terutama dikalangan kanak- kanak Mudah merebak Biasanya menyebabkan penyakit yang fatal atau membawa maut. Jangkitan Hib pada selaput otak bisa mengakibatkan kecatatan otak yang kekal.
Siapa yang bisa terjangkit penyakit Hib?
Penyakit Hib kerap berlaku dikalangan kanak- kanak bawah umur 5 tahun. Risiko jangkitan adalah paling tinggi dikalangan kanak- kanak berumur dibawah 1 tahun. Pengaulan rapat dengan kanak- kanak yang dijangkiti Hib meningkatkan risiko mendapat penyakit Hib.
Bayi yang mendapatkan ASI, akan mendapat perlindungan daripada penyakit Hib, namun begitu, Imunisasi masih diperlukan untuk mendapat perlindungan maksimal.
Bagaimana penyakit Hib merebak?
Penyakit Hib boleh merebak apabila orang yang dijangkiti batuk atau bersin. Boleh juga merebak melalui perkongsian barang mainan yang dimasukkan kedalam mulut.
Bagaimana penyakit Hib bisa dicegah?
Penyakit Hib bisa dicegah melalui imunisasi Hib. Imunisasi Hib tidak dapat melindungi kanak- kanak daripada mendapat penyakit yang disebabkan oleh bakteria/ virus yang lain. Kanak- kanak mungkin boleh mendapat lain jenis jangkitan radang paru- paru, radang selaput otak atau selesma.
Kapan imunisasi Hib diberi?
Semua bayi berumur 2, 3 dan 5 bulan perlu diberi imunisasi Hib Imunisasi Hib diberikan sebanyak 3 dos. Umur Dos: 2 bulan Dos 1, 3 bulan Dos 2, 5 bulan Dos 3
Bagaimana imunisasi Hib diberi?
Imunisasi Hib diberikan secara suntikan dibahagian otot paha. Imunisasi ini diberikan dalam satu suntikan bersama imunisasi Difteria, Pertussis dan Tetanus (DPT). Juga boleh diberikan bersama imunisasi lain seperti imunisasi Hepatitis B.
Apakah efek samping imunisasi Hib?
Imunisasi Hib adalah AMAN Kesan sampingan(=efek samping) yang berlaku biasanya ringan dan tidak berbahaya berbanding jika mendapat penyakit Hib atau komplikasinya.
Walau bagaimanapun, sakit, bengkak dan kemerahan boleh berlaku ditempat suntikan. Ini selalunya berlaku dari 1hingga 3 hari selepas imunisasi. Kadangkala, kanak- kanak boleh juga mendapat demam untuk masa yang singkat selepas imunisasi.

Kesalahpahaman tentang Imunisasi
(Vaksin dapat menimbulkan autisme)

Pada tanggal 3 Oktober 1999, Cable News Network (CNN) menayangkan acara yang menampilkan orang tua dari Liam Reynolds (3 tahun) yang menyatakan bahwa anaknya menderita autisme 2 minggu setelah mendapat imunisasi vaksin MMR (vaksin untuk campak, gondongan, dan campak Jerman). Program tersebut juga menayangkan ulasan dokter Stephanie Cave dari Louisiana, seorang spesialis yang menangani autisme dengan diet dan suplemen nutrisi. Secara resmi American Academy of Pediatrics (AAP) menyatakan dan menjelaskan mengapa tidak ada alasan kuat yang menunjukkan adanya hubungan antara autisme dan vaksinasi. Tapi dengan adanya penayangan video dramatis “sebelum dan sesudah” dari anak tersebut, memiliki dampak yang cukup kuat untuk mempengaruhi para orang tua untuk menghindari pemberian imunisasi untuk anak-anak mereka. Narator dari acara tersebut menyatakan bahwa terdapat angka yang membingungkan dari jumlah anak yang terdiagnosis menderita autisme. Agaknya yang terjadi adalah peningkatan angka pelaporan, bukan peningkatan angka kasus sesungguhnya.
Autisme adalah suatu kelainan perkembangan kronik yang ditandai dengan adanya masalah pada ineteraksi sosial, komunikasi, serta minat dan aktivitas yang terbatas dan berulang. Autisme awalnya dapat diperhatikan pada masa bayi berupa gangguan perhatian, tetapi seringnya mulai teridentifikasi pada masa balita, terutama pada laki-laki usia 18 sampai 30 bulan. Anak laki-laki diperkirakan memiliki kecenderungan menderita autisme 3-4 kali lebih besar dari pada anak perempuan. Ketepatan mendiagnosis autisme bergantung pada akurasi riwayat perkembangan yang terfokus pada tipikal tingkah laku autisme dan evaluasi keterampilan fungsional. Sekitar 75% penderita autisme mengalami retardasi mental. Kurang dari 5% anak-anak dengan bakat autistik memiliki kromosom X yang rapuh (fragile x, kelainan yang salah satu manifestasinya juga retardasi mental) atau kelainan kromosomal lainnya. Meskipun tidak akan memperoleh kesembuhan yang sempurna, tetapi autisme dapat ditangani. Gejala yang berhubungan dengan autisme sering membaik seiring dengan dimulainya seorang anak mempelajari bahasa dan berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada kebanyakan kasus autisme, tidak ditemukan penyebab yang jelas. Pada sebagian kecil kasus, penyebab biologis telah teridentifikasi, meskipun tidak ada yang khas untuk autisme. Beberapa faktor prenatal yang berhubungan mencakup infeksi rubella saat kehamilan, penyakit tuberous sclerosis, kelainan kromosomal seperti sindroma Down's, selain itu adanya kelainan otak seperti hidrosefalus. Kondisi pos natal yang diketahui sering berhubungan dengan autisme mencakup fenilketonuria (PKU) yang tidak diobati, spasme infantile, dan ensefalitis akibat virus herpes simpleks. Namun secara keseluruhan tidak ditemukan penyebab yang berhasil diidentifikasikan.
Teori terbaru yang diajukan oleh banyak ahli menyatakan autisme merupakan kelainan berdasarkan faktor genetik yang timbul sebelum lahir. Pada penelitian yang dilakukan terhadap penderita autisme, ditemukan kelainan pada struktur otak yang berkembang pada beberapa awal minggu pertama perkembangan janin. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa faktor genetik merupakan penyebab yang penting (tapi tidak khusus) dari autisme, mencakup 3-8% risiko dari kekambuhan pada keluarga dengan seoranng anak autis. Suatu kelompok kerja National Institutes of Health tahun 1995 menghasilkan konsensus yang menyatakan bahwa autisme merupakan suatu kondisi genetik. Bahasan yang belum terselesaikan oleh kelompok kerja ini adalah peranan faktor kekebalan pada spektrum kelainan autisme, hal ini menunjukkan bahwa penting diadakan penelitian untuk menjernihkan situasi tersebut.

Tidak ada bukti yang menunjukkan keterkaitan

Beberapa orang tua yang memiliki anak autisme yakin bahwa terdapat hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Namun sebenarnya, tidak terdapat alasan yang terpercaya bahwa ada vaksin yang dapat menyebabkan autisme atau gangguan tingkah laku lainnya. Gejala dari autisme khasnya diketahui oleh orang tua pada saat anak mereka mengalami kesulitan dan keterlambatan bicara setelah usia satu tahun. Vaksin MMR diberikan pertama kali pada saat anak berusia 12-15 bulan. Hal ini juga berkaitan dengan usia munculnya autisme pada umumnya, maka tidak mengherankan autisme timbul setelah pemberian vaksin MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi, penjelasan logis yang dapat diberikan untuk kasus ini adalah suatu kejadian yang tidak sengaja bersamaan, bukan suatu hubungan sebab dan akibat.
Jika vaksin campak atau vaksin lainnya dapat menyebabkan autisme, maka akan menjadi suatu kasus yang sangat jarang terjadi, karena berjuta anak di dunia ini mendapatkan vaksin tanpa ada efek yang menimbulkan penyakit. Satu-satunya “bukti” yang menunjukkan hubungan antara vaksin MMR dan autisme diterbitkan pada British journal Lancet tahun 1998. Akan tetapi untuk tahun keluaran yang sama muncul pula suatu editorial yang membahas tentang kebenaran penelitian tersebut. Berdasarkan data dari 12 pasien, dr. Andrew Wakefield (seorang ahli pencernaan Inggris) dan sejawatnya berspekulasi bahwa vaksin MMR mungkin menjadi penyebab adanya masalah pada usus yang menyebabkan penurunan penyerapan dari vitamin esensial dan zat-zat nutrisi yang selanjutnya menimbulkan gangguan perkembangan seperti autisme contohnya. Dalam hal ini tidak terdapan analisa ilmiah yang dilaporkan untuk teori tersebut. Apakah yang terjadi pada 12 pasien tersebut dapat mewakili suatu sindrom klinis yang khas sulit dinilai tanpa mengetahui besarnya populasi dan periode waktu saat kasus tersebut didentifikasi. Jika kasus tersebut menjadi rujukan yang selektif dari pasien dengan autisme untuk praktek si peneliti, misalnya, maka kasus yang dilaporkan akan menggambarkan kerancuan dari rujukan tersebut. Selanjutnya, teori yang menyatakan bahwa autisme dapat menyebabkan penyerapan yang buruk dari zat-zat nutrisi kurang beralasan dan tidak didukung oleh data klinis. Pada setidaknya 4 dari 12 kasus, masalah tingkah laku muncul sebelum timbulnya gejala dari penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease). Selanjutnya setelah publikasi mereka pada Februari 1998, Wakefield dan sejawatnya telah menerbitkan hasil penelitian yang lain dengan pemeriksaan laboratorium yang memadai dari pasien dengan penyakit inflamasi usus, menunjukkan mekanisme autisme setelah vaksinasi MMR hasilnya negatif untuk virus campak.
Pemeriksaan terbaru lainnya juga tidak mendukung hubungan sebab akibat antara vaksin MMR (atau vaksin campak lainnya) dan autisme atau inflammatory bowel disease (IBD). Pada suatu pemeriksaan yang lainnya, suatu kelompok kerja dari vaksin MMR dari United Kingdom's Committee on Safety of Medicines tahun 1999 mengalami tuntutan sejumlah evaluasi dari ratusan laporan yang dikumpulkan oleh suatu firma pengacara, dengan adanya autism, penyakit Crohn, atau kelainan perkembangan lainnya yang serupa, setelah mendapatkan vaksin MMR atau MR. Kelompok kerja tersebut menyusun secara sistematis keterangan dari orang tua dan dokter yang menangani. Kesimpulan yang diberikan oleh kelompok kerja tersebut menyatakan bahwa informasi yang ada tidak mendukung hubungan sebab akibat ataupun jaminan keamanan vaksin MMR dan MR. Pada Maret 2000, laporan dari Medical Research Council menyatkan bahwa antara bulan Maret 1998 dan September 1999 tidak ditemukan bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat MMR dengan autisme atau IBD, hal yang sama juga dilaporkan oleh American Medical Association.
Suatu penelitian oleh Taylor dan sejawat menunjukkan bukti yang berdasarkan populasi dimana bukti tersebut menjawab keterbtasan yang dihadapi oleh kelompok kerja dan Wakefield serta sejawatnya. Beliau mengidentifikasikan 498 kasus kelainan spektrum autisme atau autism spectrum disorders (ASD) pada beberapa distrik di London yang lahir tahun 1979 atau sesudahnya dan menghubungkan dengan suatu pencataan vaksinasi regional independen. ASD mencakup autisme kalsik, autisme atipikal, dan sindroma Asperger, hasil yang juga didapat serupa ketika kasus autisme klasik dianalisa secara terpisah. Hasil dari penelitian tersebut:
Terdapat peningkatan jumlah kasus ASD sejak 1979, tetapi tidak ada lonjakan setelah pengenalan vaksin MMR pada tahun 1988.
Pada kasus yang mendapat vaksinasi sebelum usia 18 bulan terdapat kesamaan usia saat terdiagnosis autisme dengan kasus yang mendapatkan vaksin setelah berusia 18 bulan ataupun dengan yang tidak divaksinasi, hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi tidak berperan pada pemunculan awal karakterisk autistik.
Kasus ASD yang mendapatkan vaksin MMR pada usia dua tahun memiliki kesamaan dengan anak-anak yang berusia sama di seluruh daerah menunjukkan suatu bukti bahwa sangat sedikit keterkaitan antara kasus ASD dengan vaksinasi tersebut.
Diagnosis awal atau tanda permulaan dari kemunduran tingkah laku tidak muncul bersamaan dengan periode setelah pemberian vaksinasi.
Data statistik mengenai hubungan temporal (waktu) antara vaksinasi MMR dan mulainya orang tua memperhatikan kelainan pada tingkah laku anaknya menunjukkan hasil yang sulit diinterpretasi, hal ini dimungkinkan karena kesulitan orang tua untuk mengingat kembali usia saat gejala muncul dan kecenderungan untuk memperkirakan usia munculnya gejala pada usia 18 bulan.
Suatu penelitian yang dilakukan pada populasi anak di dua komunitas yang berbeda di Swedia juga menunjukkan tidak adanya bukti hubungan vaksin MMR dengan autisme. Hasil penelitian itu menemukan tidak terdapat perbedaan prevalensi autisme antara anak yang lahir sesudah pengenalan imunisasi MMR di Swedia maupun sebelumnya.
Pada Januari 1990, sebuah komite dari Institute of Medicine yang mengamati efek vaksin DPT pada kesehatan menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara vaksin DPT atau komponen pertusis dari vaksin DPT dan autisme. Hal yang sama juga dilaporkan CDC's Monitoring System for Adverse Events Following Immunization (MASAEFI), menunjukkan tidak ada laporan yang menyatakan adanya autisme yang muncul setelah 28 hari pemberian imunisasi DPT pada rentang waktu antara 1978-1990, suatu periode dimana 80.1 juta dosis vaksin DPT diberikan di Amerika Serikat. Dari Januari 1990 sampai Februari 1998, hanya 15 kasus gangguan tingkah laku autisme (autism behavior disorder) setelah imunisasi yang dilaporkan pada sistem pencatatan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau Vaccine Adverse Events Reporting System (VAERS). Karena jumlah kasus yang dilaporkan dalam rentang waktu 8 tahun tersebut sangat kecil, maka kasus tersebut kurang mewakilli kejadian yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi. Vaksin yang sering dilaporkan pada laporan tersebut adalah DPT, vaksin polio oral atau oral polio vaccine (OPV), dan MMR. Vaksin lain yang dilaporkan memiliki kemungkinan berhubungan dengan autisme adalah vaksin Haemophilus influenzae type B dan Hepatitis B.
Pada tahun 2000, American Academy of Pediatrics mengadakan konvensi panel multidisiplin untuk membahas perkembangan, epidemiologi, dan aspek genetik dari ASD dan hipotesis yang berhubungan dengan IBD, campak, dan vaksin MMR. Panel tersebut menyimpulkan:
“Meskipun kemungkinan hubungan dengan vaksin MMR telah mendapat perhatian dari masyarakat banyak dan mendapat perhatian politik, dan banyaknya masyarakat yang membuat kesimpulan sendiri berdasarkan pengalaman mereka, bukti yang ada tidak mendukung hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara vaksin MMR sebagai penyebab autisme atau gangguan serupa lainnya ataupun IBD. Pemberian vaksin campak, gondong, dan rubela secara terpisah tidak memiliki keuntungan tersendiri dibandingkan dengan pemberian vaksin MMR dan menyebabkan terlambatnya atau kealpaan pemberian imunisasi. Dokter anak harus bekerja sama dengan orang tua untuk meyakinkan bahwa anak mereka akan mendapatkan perlindungan dari vaksinasi. Usaha ilmiah yang berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencari penyebab dari ASD.”
Kenyataan bahwa autisme terdiagnosis pada usia tahun kedua atau ketiga, tidak berarti bahwa autisme baru terjadi saat usia tersebut. Hasil analisis yang didapatkan dari sebuah rekaman sederhana sejak kelahiran, menunjukkan bhawa anak yang didiagnosis autis antara usia 2 atau 3 tahun memiliki tanda-tanda abnormal pada usia satu tahun pertama dan kadang pada awal kelahiran.
Baru-baru ini, National Childhood Encaephalopathy Study (NCES) mengamati apakah terdapat adanya hubungan antara vaksin campak dan kelainan neuroligis. Peneliti di Inggris menemukan bahwa tidak ada indikasi yang menyatakan bahwa vaksin campak berpengaruh terhadap perkembangan edukasi dan defisit tingkah laku atau tanda-tanda kerusakan neurologis untuk jangka lama.
Kebanyakan orang tidak mengalami kejadian lanjutan setelah mendapat vaksinasi MMR. Sekitar 5%-15% dari jumlah pemberian vaksin mengalami demam 5-12 hari setelah vaksinasi MMR dan 5% timbul ruam kemerahan. Hal yang melibatkan susunan saraf pusat mencakup ensefalitis dan ensefalopati dilaporkan terjadi 1 dari 1 juta dosis yang diberikan. Pada Juli 2002, setelah pernyataan dari Wakefield sebelum U.S. Congressional committee yang diketuai oleh Dr. Michael Fitzpatrick (seorang dokter umum dari Inggris dan orang tua dari seorang anak autis) menyatakan Wakefield "telah menggunakan jalur di luar ilmu kedokteran serta memanfaatkan kepopuleran media dan kampanye populis." Pada suatu ulasan mengenai pernyataan Wakefield dan Paul Shattock, seorang ahli farmasi dan penyanggah vaksin yang menjalani Autism Research Unit pada University of Sunderland, Fitzpatrick menyatakan:
“Sekarang berkembang jaringan laboratorium swasta yang menawarkan pemeriksaan urin dan darah yang dikatakan oleh Mr Shattock - semuanya tidak menunjukakan nilai diagnostik. Terdapat sektor bisnis substansial yang menjual suplemen makanan, vitamin, mineral, enzim dan segala jenis produk makanan spesifik – yang tidak terbukti memiliki nilai terapeutik. Tes dan suplemen tersebut memiliki biaya yang mahal dan tidak menunjukkan hasil yang dapat dibuktikan, banyak ditawarkan ke orang tua yang putus asa, sering kali dengan pendapatan yang rendah.”
Terdapat bebrapa pencari keuntungan dari kampanye anti-MMR. Dokter umum swasta sekarang mengambil keuntungan dari penjualan vaksin secara terpisah. Pengacara dengan semangat mengumpulkan biaya jasa mereka dengan meningkatkan harapan dari orang tua bahwa mereka dapat menerima kompensasi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh vaksin MMR. Oleh karena itu bukanlah suatu hal yang mengejutkan kalau mereka tersebut merupakan pendukung antusias dari pernyataan Dr Wakefield. Sangat terlihat bahwa jurnalis Inggris terpengaruh dengan karisma Dr Wakefield dan terhanyut dalam pengetahuan murahan, dan mereka malas untuk menyelidiki penyelewangan yang dilakukan oleh kampanye anti-MMR.
Seiring dengan pemaparan dengan zat-zat yang dapat menimbulkan demam, beberapa anak dapat mengalami kejang demam. Kebanyakan setelah vaksinasi campak terjadi kejang demam sederhana dan dapat terjadia pada anak dengan faktor risiko yang tidak diketahui sebelumnya. Peningkatan resiko kejang yang dicetuskan oleh demam meningkat pada anak dengan riwayat kejang sebelumnya.

Hal Yang Penting
Tidak ada data yang terbukti menunjukkan bahwa vaksin campak meningkatkan risiko berkembangnya autisme atau gangguan tingkah laku lainnya. Keuntungan yang didapatkan jauh lebih besar dari risiko yang mungkin timbul. CDC secara berkelanjutan merekomendasikan 2 dosis vaksin MMR untuk anak yang tidak memiliki kontra indikasi; dosis awal pada usia 12-15 bulan dan yang kedua pada usia 4-6 tahun ataut 11-12 tahun.
Untuk menjamin keamanan vaksin CDC, FDA, National Institutes of Health (NIH), dan badan federal lainnya secara rutin mengamati adanya bukti baru yang berhubungan dengan keamanan vaksin. Baru-baru ini CDC mengadakan penelitian di daerah metropolitan Atlanta untuk mengevaluasi kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dan autisme.
Imunisasi untuk melawan campak menghasilkan penurunan insiden campak secara nyata. Peran CNN dalam meliput masalah vaksin MMR dan autisme sangat tidak bertanggung jawab dan dapat menyebabkan kematian pada anak-anak yang orang tuanya takut untuk memberikan imunisasi MMR pada anak-anak mereka.

Tidak ada komentar: